BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 18 November 2009

Salah Satu Kegiatan Melestarikan Kebudayaan

Denpasar (ANTARA News) – Untuk lebih mengetahui dan membantu pelestarian seni budaya Pulau Dewata, Nikko Bali Resort and Spa di Nusa Dua Selatan, Kabupaten Badung, merencanakan menggelar kegiatan bertajuk “Kampoeng Bali”.

“Kami ingin mengajak tamu dan siapapun yang berminat untuk bergabung dalam kegiatan yang bertujuan mengetahui aneka seni tradisi masyarakat Bali yang sesungguhnya, sekaligus turut melestarikannya,” kata Manajer Humas Nikko Bali Aswin Pranoto di Denpasar, Minggu.

Dalam penjelasannya disebutkan, kegiatan yang melibatkan para karyawan berbakat di berbagai bidang seni tradisi yang telah menjadi budaya masyarakat Bali itu direncanakan berlangsung Senin, 9 November 2009.

“Anda tidak akan pernah benar-benar merasakan keunikan dan keindahan sebuah tempat kecuali memiliki pengalaman tinggal di tempat tersebut. Demikian pula untuk seni budaya, baru bisa merasakan kesan mendalam setelah terlibat langsung dalam aktivitas tersebut,” katanya mengutip sebuah ungkapan.

Bagi sebagian orang, Bali hanya dikenal karena memiliki pantai yang indah, tempat-tempat makan yang menyenangkan, tempat untuk berpesta dan banyaknya pusat hiburan malam. “Mereka yang berpandangan demikian, berarti telah melewatkan Bali yang sesunguhnya. Padahal pulau wisata ini menawarkan begitu banyak keunikan, seni, budaya dan tradisi,” ucap Aswin.

Karena itu dengan tujuan melestarikan warisan budaya Indonesia, khususnya Bali, Nikko Bali Resort and Spa menawarkan sebuah kegiatan bertajuk “Kampoeng Bali” yang akan memberikan pengalaman tersendiri kepada para tamu dan peminat lainnya.

Melalui kegiatan yang dipusatkan di taman tepi pantai kawasan Nikko Bali, para tamu dan peminat lainnya akan diberikan kesempatan terlibat langsung dalam pembuatan dekorasi tradisional Bali seperti penjor, yakni sebatang bambu yang dihias rangkaian janur dilengkapi aneka jenis sesajen dan upakara ritual Hindu lainnya.

Kemudian membuat gebogan, berupa aneka buah-buahan yang ditata melingkar bersusun untuk kelengkapan berbagai upacara dan hiasan, aktivitas dekorasi yang memanfaatkan tanaman jenis paku pipit atau semacam tumbuhan paku.

Selain itu juga aktivitas mengukir buah, pelajaran tari Bali dan mengikuti aneka permainan tradisional yang biasa dilakukan anak-anak Bali pada dahulu kala.

Menurut Aswin, pada siang hari para tamu dan peminat lainnya juga akan diajak menikmati berbagai makanan dan minuman tradisional, serta makan malam sambil menikmati pertunjukan tradisional di Kupu-Kupu Amphitheater Nikko Bali.

Acara yang melibatkan para karyawan berbakat ini merupakan salah satu dari serangkaian kegiatan yang diselenggarakan untuk kelestarian tradisi Bali, setelah digelar “Cultural Appreciation Nights” Agustus lalu, “A Dedication to Batik” belum lama ini dan pertunjukan tarian tradisional setiap minggu.(*)

Saatnya Kita Memuliakan Kebudayaan Kita

TIGA cuplikan peristiwa dari media massa:

1.
Sebuah penampilan tak terduga membuat penonton terperenyak pada pembukaan The Asia Pacific Weeks 2009 di Konzerthaus, Berlin, Jerman, Rabu (7/10). Lampu penerang di tempat duduk penonton meredup, berganti sorotan sinar langsung ke tengah panggung. Tampak berdiri seorang perempuan kulit putih dan intro lagu keroncong “Di Bawah Sinar Bulan Purnama” terdengar.
Dari mulut perempuan itu, Joanna Dudley, lirik lagu “Di Bawah Sinar Bulan Purnama” disenandungkan. “Di bawah sinar bulan purnama/air laut berkilauan/berayun-ayun ombak mengalir/ke pantai senda gurauan.”
….
“Saya rasa keroncong adalah musik terindah. Pertama kali mendengarnya beberapa tahun lalu, langsung membuat saya jatuh cinta dan ingin belajar menyanyikannya,” kata Joanna, perempuan kelahiran London, Inggris ini. (Neli Triana, “Keroncong Mendunia Lewat Joana”, Kompas, Kamis, 29 Oktober 2009

2
Hari ini, Kamis, bangsa Indonesia mempunyai `gawe` besar. Pertemuan “National Summit 2009″. Entahlah, mengapa pertemuan seluruh pemangku kepentingan bangsa ini, harus disebut dalam kosa kata bahasa Inggris, “National Summit 2009″.
Lebih menarik lagi ketika dalam pidatonya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru muncul banyak kosa kata bahasa Inggris.
Kata-kata seperti “global imballances”, pro-poor, pro-job maupun pro-growth, partnership, “inter state trade”, dan banyak lagi, meluncur fasih dari mulut presiden.
Mendengar begitu banyaknya kosa kata Inggris yang muncul, beberapa wartawan iseng-iseng menghitungnya. Setidaknya dalam pidato presiden sekitar 65 menit tersebut, tercatat ada 73 kosa kata bahasa Inggris yang dilontarkannya.
Artinya setiap satu menit terlontarlah kosa kata bahasa Inggris itu.
(”SBY dan Kosa Kata Inggris”. Antara, Kamis, 29 Oktober 2009 20:35 WIB

3
Kebudayaan kerap disalahartikan oleh negara. Oleh karena itu, kebudayaan harus menjadi sebuah gerakan pembebasan. Kebudayaan harus mempunyai ideologi, juga harus diatur dalam kebijakan. Kebudayaan mensyaratkan adanya kebebasan demokratis agar terjadi internalisasi nilai oleh publik, bukan hanya dimaknai oleh kepentingan elite.
Demikian salah satu poin utama yang dikemukakan budayawan Radhar Panca Dahana selaku Ketua Pengarah Temu Akbar Mufakat Budaya 2009 kepada pers, Kamis (29/10) di Jakarta.
Pada poin utama lainnya, Radhar mengatakan, budaya lokal sudah membuktikan diri selama puluhan milenia memiliki kemampuan untuk adaptif terhadap perubahan serta dapat dikatakan memiliki resiliensi yang tinggi. Dengan demikian, asumsi bahwa budaya lokal adalah bagian dari yang lampau dan statis perlu dipertanyakan kembali.
Oleh karena itu, kebijakan negara yang mematenkan budaya lokal perlu ditolak karena memungkiri kemampuan interaksi yang saling memperkuat yang sudah dibuktikan oleh perjumpaan antarbudaya lokal dan global.
Sistem-sistem berpikir asing tidak bisa dicangkokkan begitu saja ke tanah kultural Indonesia sebab secara kultural kita terbukti mampu mengontekstualkan ”yang asing” sampai tak dapat dikenali lagi keasingannya.
(”Kebudayaan Kerap Disalahartikan Negara”, Kompas, 30 Oktober 2009)

SAYA sengaja mencuplikan tiga berita ini untuk mengajak berpikir tentang kebudayaan secara lebih komprehensif. Kebudayaan sudah terlalu lama tidak dianggap di negeri ini. Kebudayaan tidak lebih penting dari urusan rebutan kursi atau kemiskinan dalam berbagai maknanya, yang terus-menerus melilit bangsa ini.

Sekarang kita meributkan “cicak melawan buaya” yang dengan sendiri melupakan bahwa kita pernah marah-marah dengan Malaysia karena berbagai klaim budaya yang dia lakukan terhadap “budaya Indonesia” (sengaja diberi tanda petik karena masih harus diteliti lagi soal pengakuan kita itu).

Tergopoh-gopohlah kita melakukan pendataan atau apa pun untuk mengatakan kita punya kebudayaan (termasuk di dalam kesenian). Indonesia misalnya, kini sedang dalam proses mendaftarkan 23 produk budaya dalam alam Nusantara ke dalam daftar warisan dunia Unesco. Saat ini sudah tiga warisan budaya benda milik Indonesia yang diakui UNESCO, yakni Candi Borobudur, Kompleks Candi Prambanan, dan Situs Sangiran.

Lalu, Departeman Parisata dan Kebudayaan mengajurkan agar semua daerah mempatenkan kebudayaan lokal. Tapi, benarkah sesederhana itu?

Paten Budaya?

Ada tiga hal kesalahkaprahan tentang paten. Pertama, paten adalah perlindungan hukum untuk teknologi atau proses teknologi, bukan untuk seni budaya seperti batik. Kedua, tak ada lembaga internasional yang menerima pendaftaran cipta atau paten dan menjadi polisi dunia di bidang hak kekayaan intelektual (HKI). Ketiga, media terus saja mengulangi kesalahan pemahaman HKI yang mendasar bahwa seolah-olah seni budaya dapat dipatenkan.

Dalam urusan HKI, ada sejumlah hak yang dilindungi, seperti hak cipta dan paten dengan peruntukan yang berbeda. Hak cipta adalah perlindungan untuk ciptaan di bidang seni budaya dan ilmu pengetahuan, seperti lagu, tari, batik, dan program komputer. Sementara hak paten adalah perlindungan untuk penemuan (invention) di bidang teknologi atau proses teknologi. Ini prinsip hukum di tingkat nasional dan internasional. Paten tidak ada urusannya dengan seni budaya. Jadi, pernyataan “perlu mematenkan seni budaya” adalah distorsi stadium tinggi.

Salah kaprah lain adalah keinginan gegap gempita untuk mendaftarkan warisan seni budaya untuk memperoleh hak cipta. Para gubernur, wali kota, dan bupati berlomba-lomba membuat pernyataan di media bahwa terdapat sekian ribu seni budaya yang siap didaftarkan untuk mendapat hak cipta. Tampaknya tak disadari bahwa dalam sistem perlindungan hak cipta, pendaftaran tidaklah wajib. Apabila didaftarkan, akan muncul konsekuensi berupa habisnya masa berlaku hak cipta, yakni 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Jadi, seruan agar tari Pendet didaftarkan adalah berbahaya karena 50 tahun setelah pencipta tari Pendet meninggal dunia, hak ciptanya hilang dan tari Pendet dapat diklaim siapa saja.

Kita harus hati-hati menggunakan kata klaim apabila terkait urusan sebaran budaya. Adanya budaya Indonesia di negara lain tidak berarti negara itu secara langsung melakukan klaim atas budaya Indonesia. Karena apabila ini kerangka berpikir kita, kita harus siap-siap dengan tuduhan bangsa lain bahwa Indonesia juga telah mengklaim budaya orang lain; misalnya bahasa Indonesia yang 30 persen bahasa Arab, 30 persen bahasa Eropa (Inggris, Belanda, dan Portugis) serta 40 persen bahasa Melayu. Bagaimana dengan Ramayana yang oleh UNESCO diproklamasikan sebagai seni budaya tak benda India? Apakah Indonesia telah mengklaim budaya India sebagai budaya kita karena di Jawa Tengah sendratari Ramayana telah menjadi bagian budaya?

Malaysia-Indonesia

Konon, hampir 80 persen keturunan Melayu di Malaysia adalah keturunan orang Indonesia. Ada yang keturunan Aceh, Padang, Sumatera Utara, Jambi, Palembang, Jawa, Madura, Bawean, dan Bugis.

Banyak sekali keturunan Indonesia yang sukses di Malaysia. Perdana Menteri Malaysia ke-6 Najib Tun Razak adalah keturunan Sultan Gowa ke-19 atau cucu dari Sultan Hasanudin. Ayahnya menjadi PM Malaysia ke-2. Di jajaran kabinet saat ini, Menteri Pertahanan Malaysia Ahmad Zahid Hamidi, kakeknya orang Yogyakarta. Bahasa Jawanya masih fasih. Begitu juga dengan Rais Yatim, Menteri Penerangan dan Kebudayaan Malaysia, yang masa kecilnya sempat dihabiskan di Sawahlunto, Sumatera Barat.

Kesuksesan perantauan Indonesia di Malaysia bukan hanya sampai tingkat menteri. Beberapa sultan di negara bagian juga keturunan Indonesia, contohnya Sultan di Johor Bahru dan Selangor, adalah keturunan Bugis. Bukan saja di kalangan pemerintahan dan sultan, keturunan Indonesia sukses di Malaysia. Bintang film legendaris Malaysia, P Ramlee pun merupakan anak Aceh yang sukses di Malaysia. Penyanyi pria paling top saat ini Mawi, juga masih keturunan Jawa.

Menurut Asvi Warman Adam, peneliti utama LIPI (2009), Indonesia serba repot. Jika kita bertempur dengan Malaysia, kalah atau menang tetap rugi. Kalau kalah, jelas malu karena Malaysia lebih kecil daripada kita. Kalau menang, bukan prestasi.

Asvi malah mengusulkan untuk menggabungkan atau mengintegrasikan Malaysia dengan Indonesia; tentu saja tidak dengan invasi atau aneksasi, tetapi secara damai. Gagasan tentang Indonesia Raya yang mencakup bekas Hindia Belanda plus Semenanjung Melayu bukanlah hal baru karena ini sudah digagas seusai Perang Dunia II oleh Ibrahim Haji Yaacob yang kemudian dikenal di Indonesia dengan nama Iskandar Kamel.

Ibrahim Haji Yaacob adalah seorang Melayu keturunan Bugis. Ia lahir 27 November 1911 di Kampung Tanjung Kertau, Temerloh, Pahang. Leluhurnya telah merantau ke Pahang awal abad ke-20. Saat bersekolah di Maktab Perguruan Sultan Idris tahun 1928-1931 di Tanjong Malim, Perak, guru-gurunya mengajarkan gerakan nasionalisme India, Mesir, Indonesia, dan Jepang.

Pada 8 Agustus 1945, delegasi Indonesia yang terdiri dari Soekarno, Hatta, dan Radjiman berangkat ke Vietnam menemui Marsekal Terauchi. Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, delegasi itu mampir di Taiping Perak. Di sana mereka bertemu Ibrahim Yaacob, yang memberitahukan kepada Soekarno dan Hatta bahwa orang-orang Melayu ingin mencapai kemerdekaan bagi Malaya dalam kerangka Indonesia Raya. Dia mengusulkan agar kemerdekaan Malaya juga diumumkan akhir Agustus.

Soekarno yang duduk di samping Hatta terharu oleh semangat Ibrahim Yaacob. Dijabatnya tangan Ibrahim, lalu berujar, “Mari kita ciptakan satu tanah air bagi mereka dari keturunan Indonesia.” Ibrahim menjawab, “Kami orang Melayu akan setia menciptakan ibu negeri dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka. Kami orang Melayu bertekad untuk menjadi orang Indonesia.”

Semua itu tidak pernah menjadi kenyataan.

Penutup

Apa yang sebenarnya terjadi? Kita sudah terlalu lama salah paham dengan yang disebut kebudayaan. Kita, pemerintah terutama, masih menganggap kebudayaan sebagai sesuatu yang harus “dijual”. Sudah keliru, kita pun (pemerintah terutama) masih sporadis dalam manangani kebudayaan. Nasionalisme kita baru terbangun saat budaya atau tradisi yang ada di masyarakat kita diklaim negara lain.

Sudah saatnya, kita, siapa pun kita, mulai memuliakan kebudayaan. Sebab, kebudayaan — seperti halnya bahasa — adalah identitas, jati diri. Tidakkah kita menyadari itu? Mengapa kita lupa dengan diri sendiri (baca: kebudayaan yang kita miliki); kita merasa sangat inferior dengan apa yang kita punya dan justru sibuk mengejar segala sesuatu yang “asing” karena beranggapan itulah kebudayaan yang modern, yang mendunia, dan yang harus ditiru agar tidak dibilang ketinggalan zaman?

Senin, 16 November 2009

tari-piringTari Piring adalah tarian tradisional yang berasal dari daerah Solok, Minangkabau-Sumatera Barat. Tarian ini memiliki gerakan yang menyerupai gerakan para petani semasa bercocok tanam, bekerja, menuai, dan sebagainya. Tarian ini juga melambangkan rasa gembira dan syukur masyarakat Minangkabau ketika musim panen telah tiba, dimana para muda mudi mengayunkan gerak langkahnya dalam mempermainkan piring yang ada di tangan mereka.

Tarian ini diiringi lagu yang dimainkan dengan talempong dan saluang, tari-piring-3dimana gerakan yang dilakukan adalah dengan memegang piring di telapak tangan mereka. Kadangkala piring-piring tersebut dilempar ke udara atau dihempaskan ke tanah dan diinjak oleh para penari tersebut dengan kaki telanjang.

panen-padiKesenian tari piring ini dilakukan secara berpasangan maupun secara berkelompok dengan beragam gerakan yang dilakukan dengan cepat dan dinamis serta diselingi bunyi piring yang berdenting yang dibawa oleh para penari tersebut. Dalam khazanah budaya Minang tari piring ini memiliki maksud dalam pemujaan terhadap Dewi Padi dan penghormatan atas hasil panen. Namun pada zaman sekarang tarian tersebut lebih sering diadakan pada acara pernikahan. Tari Piring ini sangat digemari oleh masyarakat luar negeri karena gerakannya yang enerjik, bersemangat, aktraktif, dinamis, dan tidak monoton.

Selain Tari Piring masih banyak lagi tari-tarian lainnya yang sampai sekarang masih dipertahankan & dilestarikan oleh Gubernur dan masyarakat Minang tanpa mengubah keasliannya. Diantara lainnya : Tari Lilin, Tari Dindin Ba Dindin .

Tari Lilin juga menggunakan peralatan berupa 2 buah lilin yang dialasi dengan 2 buah piring dalam keadaan menyala. Sedangkan Tari Dindin Ba Dindin meruakan tarian berkelompok yang beranggotakan kurang lebih 10 orang. Tarian tersebut hampir mirip dengan tarian yg berasal dari daerah Aceh dimana gerakannya tidak mudah untuk di tiru.

Masih banyak lagi tari-tarian yang terdapat di daerah Sumatera Barat, baik itu yang sudah di kenal maupun yang tidak terlalu di kenal. Oleh karena itu, kita sebagai bangsa Indonesia wajib melestarikan kebudayaan asli dari Negara kita agar tidak di tiru maupun di rebut oleh Negara lain.

Indonesia tercinta banyak memiliki kecantikan serta keanekaragaman budaya. Jangan abaikan, jaga dan terus pelihara warisan nenek moyang bangsa kita.

Minggu, 15 November 2009

Asal-Usul Upacara Kasodo

Suku Tengger memiliki daya tarik yang luar biasa karena mereka sangat berpegang teguh pada adat istiadat dan budaya yang menjadi pedoman hidupnya. Pada tahun 1990 suku tengger tercatat berjumlah 50 ribu yang tinggal dilereng gunung Semeru dan disekitar kaldera. Mereka sangat dihormati oleh penduduk sekitar karena mereka sangat memegang teguh budaya mereka dengan hidup jujur dan tidak iri hati. Konon Suku tengger adalah keturunan Roro Anteng(putri Raja Majapahit) dan Joko Seger (putera brahmana). Bahasa daerah yang mereka gunakan sehari hari adalah bahasa jawa kuno. Mereka tidak memiliki kasta bahasa, sangat berbeda dengan Bahasa jawa yang dipakai umumnya karena mempunyai tingkatan bahasa.

Sejak Jaman Majapahit konon wilayah yang mereka huni adalah tempat suci, karena mereka dianggap abdi – abdi kerajaan Majapahit. Sampai saat ini mereka masih menganut agama hindu, yang membedakan dengan hindu dharma Bali adalah perbedaan kasta. Mereka tidak menganut sistem kasta sedangkan kepercayaan Hindu yang terdapat dibali menggunakan sistem kasta. Setahun sekali masyarakat tengger mengadakan upacara yadnya Kasada. Upacara ini berlokasi disebuah pura yang berada dibawah kaki gunung bromo. Dan setelah itu dilanjutkan kepuncak gunung bromo. Upacara dilakukan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama dibulan kasodo menurut penanggalan jawa.

Tempat untuk mengadakan upacara kasada adalah Pura Luhur Poten Gunung Bromo, tidak seperti pemeluk hindu pada umumnya yang memiliki candi candi sebagai tempat ibadah. Namun poten merupakan sebidang tanah dilahan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara kasada. Asal usul upacara Kasada terjadi beberapa abad yang lalu "Pada masa pemerintahan Dinasti Brawijaya dari kerajaan Majapahit, permaisuri dikaruniai anak perempuan yang bernama Roro Anteng. Setelah beranjak dewasa sang Putri jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari Kasta Brahmana yang bernama Joko Seger. Pada saat Kerajaan Majapahit mengalami kemerosotan dan semakin berkibarnya perkembangan Islam di P Jawa. Beberapa orang kepercayaan kerajaan dan sebagian keluarganya memutuskan pergi kewilayah timur. Dan sebagian besar ke kawasan pegunungan tengger, termasuk Roro Anteng dan Joko Seger. Setelah mereka menjadi penguasa diwilayah ini, mereka sangat sedih karena belum dikaruniai seorang anak.

Berbagai macam cara mereka coba, sampai pada akhirnya mereka kepuncak Gunung Bromo untuk bersemedi. Akhirnya permintaan mereka dikabulkan dengan munculnya suara gaib, dengan syarat anak bungsu mereka setelah lahir harus dikorbankan kekawah gunung bromo. Setelah mereka dikaruniai 25 orang anak, tiba saatnya mereka harus mengorbankan si bungsu. Tetapi mereka tidak tega melakukannya, karena hati nurani orang tua yang tidak tega membunuh anaknya. Akhirnya sang dewa marah dan menjilat anak bungsu tersebut masuk kekawah gunung, timbul suara dari si bungsu agar orang tua mereka hidup tenang beserta saudara-saudaranya. Dan tiap tahun untuk melakukan sesaji yang dibuang ke gunung bromo. Sampai sekarang adat istiadat ini dilakukan secara turun menurun.

Untuk dapat melihat upacara kasada bromo lebih baik kita datang sebelum tengah malam, karena ramainya persiapan para dukun. Hari hari upacara kasada bromo, banyak penduduk sekitar yang berdatangan. Baik mengendarai sepeda motor atau kendaraan pribadi lainnya. Sehingga mengakibatkan jalanan kebawah menuju kaki gunung sangat macet. Dan bisa membuat Mobil dari gerbang tidak bisa turun kebawah. Jalan lain kebawah yaitu anda berjalan dengan rombongan rombongan penduduk yang menuju pura. Karena jika sendiri dipastikan akan tersesat, karena kabut yang sangat tebal dan pandangan sangat terganggu.

Selain itu Upacara Kasada bromo juga dilakukan untuk mengangkat seorang Tabib atau dukun disetiap desa. Agar mereka dapat diangkat oleh para tetua adat, mereka harus bisa mengamalkan dan menghafal mantera mantera. Beberapa hari sebelum Upacara Kasada bromo dimulai, mereka mengerjakan sesaji sesaji yang nantinya akan dilemparkan ke Kawah Gunung Bromo. Pada malam ke 14 bulan Kasada Masyarakat tengger berbondong bondong dengan membawa ongkek yang berisi sesajo dari berbagai macam hasil pertanian dan ternak.

Lalu mereka membawanya ke Pura dan sambil menunggu Dukun sepuh yang dihormati datang mereka kembali menghafal dan melafalkan mantera, tepat tengah malam diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat dipoten lautan pasir gunung bromo. Bagi masyarakat Tengger, peranan Dukun adalah sangat penting. Karena mereka bertugas memimpin acara – acara ritual, perkawinan dll. Sebelum lulus mereka diwajibkan lulus ujian dengan cara menghafal dan lancar dalam membaca mantra mantra.

Setelah Upacara selesai, ongkek – ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki gunung bromo ke atas kawah. Dan mereka melemparkan kedalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Didalam kawah banyak terdapat pengemis dan penduduk tengger yang tinggal dipedalaman, mereka jauh jauh hari datang ke gunung bromo dan mendirikan tempat tinggal dikawah gunung Bromo dengan harapan mereka mendapatkan sesaji yang dilempar. Penduduk yang melempar sesaji berbagai macam buah buahan dan hasil ternak, mereka menganggapnya sebagai kaul atau terima kasih mereka terhadap tuhan atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah. Aktivitas penduduk tengger pedalaman yang berada dikawah gunung bromo dapat kita lihat dari malam sampai siang hari Kasada Bromo.

Seni Budaya Masyarakat Tengger

SEJARAH


Menurut mitos atau legenda yang berkembang di masyarakat suku Tengger, mereka berasal dari keturunan Roro Anteng yang merupakan putri dari Raja Brawijaya dengan Joko Seger putra seorang Brahmana. Nama suku Tengger diambil dari akhiran nama kedua pasang suami istri itu yaitu, “Teng” dari Roro Anteng dan “Ger” dari Joko Seger. Legenda tentang Roro Anteng dan Joko Seger yang berjanji pada Dewa untuk menyerahkan putra bungsu mereka, Raden Kusuma merupakan awal mula terjadinya upacara Kasodo di Tengger.
Menurut beberapa ahli sejarah, suku Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa, salah satunya adalah Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh Islam, kemudian melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar pedalaman Gunung Bromo ini kemudian mendirikan kampung yang namanya diambil dari akhiran nama pemimpin mereka yaitu Roro Anteng dan Joko Seger.

DESKRIPSI LOKASI
Suku bangsa Tengger berdiam disekitar kawasan di pedalaman gunung Bromo yang terletak di kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Berdasarkan persebaran bahasa dan pola kehidupan sosial masyarakat, daerah persebaran suku Tengger adalah disekitar Probolinggo, Lumajang, (Ranupane kecamatan Senduro), Malang (desa Ngadas kecamatan Poncokusumo), dan Pasuruan. Sementara pusat kebudayaan aslinya adalah di sekitar pedalaman kaki gunung Bromo.

UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN

1. BAHASA
Bahasa yang berkembang di masyarakat suku Tengger adalah bahasa Jawa Tengger yaitu bahasa Jawi kuno yang diyakini sebagai dialek asli orang-orang Majapahit. Bahasa yang digunakan dalam kitab-kitab mantra pun menggunakan tulisan Jawa Kawi. Suku Tengger merupakan salah satu sub kelompok orang Jawa yang mengembangkan variasai budaya yang khas. Kekhasan ini bisa dilihat dari bahasanya, dimana mereka menggunakan bahasa Jawa dialek tengger, tanpa tingkatan bahasa sebagaimana yang ada pada tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa pada umumnya.

2. PENGETAHUAN
Pendidikan pada masyarakat Tengger sudah mulai terlihat dan maju dengan dibangunnya sekolah-sekolah, baik tingkat dasar maupun menengah disekitar kawasan Tengger. Sumber pengetahuan lain adalah mengenai penggunaan mantra-mantra tertentu oleh masyarakat Tengger.

3. TEKNOLOGI
Dalam kehidupan suku Tengger, sudah mengalami teknologi komunikasi yang dibawa oleh wisatawan-wisatawan domestik maupun mancanegara sehingga cenderung menimbulkan perubahan kebudayaan. Suku Tengger tidak seperti suku-suku lain karena masyarakat Tengger tidak memiliki istana, pustaka, maupun kekayaan seni budaya tradisional. Tetapi suku Tengger sendiri juga memiliki beberapa obyek penting yaitu lonceng perungggu dan sebuah padasan di lereng bagian utara Tengger yang telah menjadi puing.

4. RELIGI
Mayoritas masyarakat Tengger memeluk agama Hindu, namun agama Hindu yang dianut berbeda dengan agama Hindu di Bali, yaitu Hindu Dharma. Hindu yang berkembang di masyarakat Tengger adalah Hindu Mahayana. Selain agama Hindu, agama laiin yang dipeluk adalah agama Islam, Protestan, Kristen, dll. Berdasarkan ajaran agama Hindu yang dianut, setiap tahun mereka melakukan upacara Kasono. Selain Kasodo, upacara lain yaitu upacara Karo, Kapat, Kapitu, Kawulo, Kasanga. Sesaji dan mantra amat kental pengaruhnya dalam masyarakat suku Tengger. Masyarakat Tengger percaya bahwa mantra-mantra yang mereka pergunakan adalah mantra-mantra putih bukan mantra hitam yang sifatnya merugikan.

5. ORGANISASI SOSIAL
PERKAWINAN. Sebelum ada Undang-Undang perkawinan banyak anak-anak suku Tengger yang kawin dalam usia belia, misalnya pada usia 10-14 tahun. Namun, pada masa sekarang hal tersebut sudah banyak berkurang dan pola perkawinannya endogami. Adat perkawinan yang diterapkan oleh siuku Tengger tidak berbeda jauh dengan adat perkawinan orang Jawa hanya saja yang bertindak sebagai penghulu dan wali keluarga adalah dukun Pandita. Adat menetap setelah menikah adalah neolokal, yaitu pasangan suami-istri bertempat tinggal di lingkungan yang baru. Untuk sementara pasangan pengantin berdiam terlebih dahulu dilingkungan kerabat istri.
SISTEM KEKERABATAN.
Seperti orang Jawa lainnya, orang Tengger menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral yaitu garis keturunan pihak ayah dan ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak.
SISTEM KEMASYARAKATAN.
Masyarakat suku Tengger terdiri atas kelompok-kelompok desa yang masing-masing kelompok tersebut dipimpin oleh tetua. Dan seluruh perkampungan ini dipimpin oleh seorang kepala adat. Masyarakat suku Tengger amat percaya dan menghormati dukun di wilayah mereka dibandingkan pejabat administratif karena dukun sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Tengger. Masyarakat Tengger mengangkat masyarakat lain dari luar masyarakat Tengger sebagai warga kehormatan dan tidak semuanya bisa menjadi warga kehormatan di masyarakat Tengger. Masyarakat muslim Tengger biasanya tinggal di desa-desa yang agak bawah sedangkan Hindu Tengger tinggal didesa-desa yang ada di atasnya.

6. MATA PENCAHARIAN
Pada masa kini masyarakat Tengger umumnya hidup sebagai petani di ladang. Prinsip mereka adalah tidak mau menjual tanah (ladang) mereka pada orang lain. Macam hasil pertaniannya adalah kentang, kubis, wortel, tembakau, dan jagung. Jagung adalah makanan pokok suku Tengger. Selain bertani, ada sebagian masyarakat Tengger yang berprofesi menjadi pemandu wisatawan di Bromo. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan menawarkan kuda yang mereka miliki untuk disewakan kepada wisatawan.

7. KESENIAN
Tarian khas suku Tengger adalah tari sodoran yang ditampilkan pada perayaan Karo dan Kasodo. Dari segi kebudayaan, masyarakat Tengger banyak terpengaruh dengan budaya pertanian dan pegunungan yang kental meskipun sebagian besar budaya mereka serupa dengan masyarakat Jawa umumnya, namun ada pantangan untuk memainkan wayang kulit.


NILAI-NILAI BUDAYA

Orang Tengger sangat dihormati oleh masyarakat Tengger karena mereka selalu hidup rukun, sederahana, dan jujur serta cinta damai. Orang Tenggr suka bekerja keras, ramah, dan takut berbuat jahat seperti mencuri karena mereka dibayangi adanya hukum karma apabila mencuri barang orang lain maka akan datang balasan yaitu hartanya akan hilang lebih banyak lagi. Orang Tengger dangat menghormati Dukun dan Tetua adat mereka.

ASPEK PEMBANGUNAN

Aspek pembangunan yang terlihat adalah pada sektor pariwisata misalnya dengan pembangunan-pembanguna akses-akses menuju gunung Bromo agar lebih mudah dijangkau oleh wisatawan. Desa Tosari merupakan salah satu pintu gerbang daerah Tengger, desa ini memanjang dari utara sampai selatan. Di tengah desa itu terdapat pasar dan tempat-tempat ibadah seperti masjid bagi umat Islam dan pura bagi umat Hindu. Selain itu terdapat pula kantor kelurahan, kantor kecamatan, dan koramil, kantor PKK, sekolah dasar, madrasah, taman-kanak-kanak, pos kesehatan, dan taman gizi serta puskesmas. Jadi desa-desa yang ada di wilayah Tengger sudah cukup maju.

Hubungan Sejarah dengan Budaya Bangsa

Apa sih hubungan antara sejarah Indonesia dengan Bencana? Hubungan langsung memang tidak ada. Tapi ada ‘motivasi spesial’ yang muncul karena banyaknya kejadian di tanah air mengundang perhatian segenap anak bangsa. Respon sensitif yang mengusik rasa nasionalisme pun bermunculan seperti demo di depan Kedubes Malaysia. Sebelumnya aksi penyergapan terorisme di Temanggung, Jawa Tengah mengundang perhatian pemirsa televisi yang dikemas menjadi tontonan menarik. Dan bencana gempa di Tasikmalaya menjadi ujung akhir kejadian menuju pelantikan Presiden SBY 20 Oktober mendatang. Iya, seni-budaya, nasionalisme, melayu, dan bencana menjadi kata-kata kunci tulisan ini. Hampir lupa, saya sisipkan Sejarah Indonesia yang juga menjadi kata kunci penyambung (benang merah) kata-kata kunci sebelumnya.

Tidak ada yang bisa membantah bahwa Indonesia kaya akan seni dan budaya. Bayangkan dari Sabang sampai Merauke, ada ratusan bahkan mungkin ribuan seni-budaya, adat istiadat, kebiasaan yang memang asli Indonesia. Tetapi mungkin masih banyak yang belum paham, jenis seni-budaya, adat, bahasa dan kebiasaan apa saja yang termasuk asli Indonesia? Sayapun hanya hafal seni-budaya dan bahasa Bali karena kebetulan orang Bali. Tapi itupun tidak semuanya bisa saya pahami. Apalagi seni-budaya dan bahasa daerah lain.

Keragaman kultur Indonesia itu bisa dikatakan hampir tidak terbatas (?). Dikatakan hampir tidak terbatas karena penelitian tentang seni-budaya, bahasa dan lain-lain masih sangat minim. Dan sedikit sekali yang mau dan termotivasi untuk melakukan kegiatan yang bisa dikatakan (mungkin) tidak bergengsi. Justeru orang asing yang sangat tertarik dan ingin mengkaji berbagai hal terkait kekayaan seni dan budaya Indonesia.

Dengan seni-budaya, bahasa, kebiasaan dan sikap lokal suatu daerah (saya yakin) penanggulangan bencana dapat dilakukan dengan lebih baik lagi. Kenapa? Karena sejak dulu (nenek moyang kita) pasti telah belajar dari pengalaman, terlatih dan terbiasa dengan kejadian bencana yang menimpa daerahnya. Yang namanya manajemen bencana, pasti sudah ada sejak dulu. Sudah dipelajari sejak nenek dan kakek moyang kita hidup di daerah itu. Sejak Kerajaan Majapahit? Tidak! Jauh sebelum itu.

Bagaimana kita bisa tahu seni-budaya, bahasa, kebiasaan, perilaku, adat suatu wilayah atau daerah? Kita butuh ahli sejarah. Kita butuh ahli yang paham perjalanan bangsa ini. Negeri ini butuh orang-orang yang mau peduli akan masa lalu, masa sekarang dan masa mendatang tanah air ini. Orang-orang ini dibutuhkan untuk dapat mengurai secara rinci perjalanan Indonesia dari dulu sampai sekarang. Mungkin kita butuh antropolog kelas dunia, arkeolog mumpuni, orang yang dapat membaca lontar, orang yang dapat memahami simbol-simbol jaman batu dulu. Mungkin nenek moyang kita dulu seperti jaman Flinstone? Atau bahkan seperti deni manusia ikan?

Semua ini amat bermanfaat buat anak-cucu-buyut kita nanti. Karakter bangsa ini mesti diurai secara tuntas. Cari sampai dapat. Jangan malah ‘dicuri’ lagi oleh bangsa lain. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar! Dan itu semua akan semakin besar lagi jika anak bangsanya mau memelihara seni-budayanya secara utuh. Ini semua dapat dilakukan melalui pendidikan. Pendidikan yang bercirikan Indonesia. Pendidikan yang memberikan bekal buat anak bangsa untuk tetap bisa bertahan dalam kondisi dan jaman apapun melalui pemahaman seni-budaya yang kaya. Kaya akan pesan-pesan pentingnya anak bangsa ini untuk kembali ke jati dirinya yang asli, yaitu Asli Indonesia.

Kebanggaan tersendiri

Senang dan turut bangga, membaca Kompas pagi ini dengan adanya lagi Seni Budaya Indonesia yang dapat pengakuan dunia melalui permainan Kolintang dan musik bambu secara massal di Stadion Maesa, Tondano, Sulawesi Utara pada hari Sabtu 31 Oktober 2009. Kedua seni musik tradisional ini sekarang tercatat dalam buku rekor dunia, The Guinnes Book World of Records.

Persyaratan minimal untuk dicatat dalam buku Guinnes World Records (GWR) musik tradisional ini harus dimainkan oleh 1.000 orang, namun pada pertunjukan tersebut Kolintang dimainkan oleh 1.223 orang dan musik bambu pesertanya bahkan mencapai 3.011 orang, Walaupun tidak menyaksikan secara langsung, namun dapat dibayangkan jika musik ini menjadi demikian ‘kolosal’ indahnya. Penyerahan sertifikat oleh perwakilan GWR, Lucia Sinigagliesi diterima pemrakarsa pergelaran, Benny J. Mamoto, Direktur Seni Budaya Sulawesi Utara, kemudian diserahkan kepada Bupati Minahasa, Vreeke Runtu.

Menurut Lucia Sinigagliesi, hasil penelitian tim GWR di London, Inggris, menunjukkan: instrumen, melodi dan irama pada kolintang dan musik bambu tradisional Indonesia belum ada yang menyamai di dunia. Oleh karenanya GWR mencatat keduanya sebagai wujud seni tradisi yang menakjubkan dunia.

Sebelumnya, pada tanggal 2 Oktober 2009, Batik Indonesia oleh UNESCO PBB ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia tak benda yang mempunyai keunikan dan filosofi mendalam. (Baca juga: http://edukasi.kompasiana.com/2009/09/29/aku-cinta-produk-indonesia-dan-peristiwa-pemanasan-global/ ). Menjelang tanggal 2 Oktober, penulis turut merasakan ‘euforia Batik’ dimana-mana, karena pada sebagian besar sekolah mewajibkan siswa-siswinya untuk memakai Batik. Tapi bangga juga, kita pakai Batik dan melihat Guru dan siswa sekolah, pegawai Bank, penyiar TV dan yang lainnya banyak yang pakai Batik. Agar lebih memasyarakat dan tidak sekedar ‘euforia’ untuk selanjutnya pemakaian ‘baju batik’ bisa dijadwalkan sebagai seragam tetap minimal 1 minggu 1 kali pada setiap sekolah, dan semua ujung tombak pelayanan umum baik pegawai negeri maupun swasta.

Warisan Seni Budaya Indonesia yang tersebar di 33 provinsinya, sangat banyak dan sangat beragam, lihatlah kita punya alat musik tradisional seperti: angklung, bende, calung, gamelan, gendang Bali dsb, gong, jidor, kecapi, kenong, rebab, sasando, suling, tifa dan masih banyak lainnya. Selain pakaian Batik, kita juga punya: kebaya, baju kurung songket, kain tenun ikat, ulos, baju bodo, pakaian tradisional Dayak Bali sampai dengan ‘koteka’. Selain ‘Tari Pendet’ yang sempat heboh dulu, masih banyak yang lainnya seperti tari kecak, tari piring, tari seudati, meuseukat, topeng, tayub, wayang orang, ondel-ondel, cokek, jaipongan dan sebagainya. Pada bidang arsitektur, rumah-rumah tradisional Indonesia sebagian besar diberi seni ukir dan hiasan yang sangat indah, terbuat dari bahan yang ringan, kompak dan teruji oleh waktu serta kokoh dan kuat menahan bencana gempa bumi.

Batik Milik Indonesia

2 Oktober tahun ini merupakan tahun yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena pada tahun ini Batik telah dicanangkan oleh UNESCO sebagai salah satu warisan seni budaya (cultural heritage) bangsa Indonesia. Kesempatan ini pula meresmikan 2 Oktober kemarin sebagai hari Batik Nasional.

Momen ini banyak dijadikan oleh banyak kalangan untuk mengenakan batik. Dari kalangan universitas, hotel, perkantoran hingga instansi pemerintah tentunya. Seperti Universitas Ciputra dengan kegiatan “Sewu Wong Batikan” (seribu orang berbatik) atau Universitas PETRA yang melakukan pawai pendek dengan peserta berbatik. Beberapa swalayan juga terlihat para pegawainya menggunakan batik. Hal ini merupakan mafestasi dari rasa gembira atas pengukuhan UNESCO tersebut.

Batik Sidoarjo (amelia)

Gubernur Jawa Timur dalam kesempatan ini pula memberikan dukungan yang besar dan menggunakan momen ini untuk memajukan industri daerah sekaligus melestarikan warisan seni budaya bangsa.

Batik Kenongo Sidoarjo (amelia)

“Prinsip dasarnya dengan Dewan atau DPRD ini merupakan nilai yang luar biasa dari UNESCO maka kami akan merumuskan menggunakan kesempatan ini, apa dalam satu minggu atau satu bulan terus-menerus menggunakan batik. Dengan tujuan untuk mendorong industri batik dalam negeri pada saat recoveri ekonomi. Ini gathuk (cocok). Dengan digalakannya penggunaan batik tentu menciptakan pasar. Ini merupakan keputusan luar biasa. Ini momen ACI (aku cinta Indonesia).” Papar Pakde Karwo.

Batik Tanjungbumi Bangkalan Madura (amelia)

Dalam kesempatan yang sama Ibu Gubernur Nina Soekarwo sebagai ketua Dekranas Provinsi Jawa Timur menyampaikan hal yang senada.

“Beruntung sekali UNESCO telah menetapkan batik sebagai warisan seni budaya Indonesia. Kami telah merangkul perajin batik yang ada di Jawa Timur yang berada di 38 kabupaten dan kota, memang hanya 18 yang masih punya batik. Mencoba mengajak perajin untuk bisa memiliki batik di masing-masing kabupaten. Walaupun secara general provinsi Jawa Timur ini adalah pepaduan budaya. Ada budaya Mataram dan Arek. Daerah Mataram masih menyukai batik dengan warna sogan. Sedang daerah tapal kuda dan Madura menyukai warna-warna cerah dan menyolok. Tapi sekarang sedang condong untuk menyukai warna cerah tersebut. Namun saya akan berusaha untuk memadukan keduanya. Batik-batik kontemporer yang cerah tapi tidak meninggalkan keklasikannya. Agar digemari oleh semua kalangan. Karena batik memiliki filosofi yang bagus dan sangat tinggi.”

Batik Gedog Tuban (amelia)

Untuk kelanjutan setelah 2 Oktober, PEMDA diharapkan akan terus melanjutkan tradisi berbatik bagi segenap jajaran karyawan dan karyawati–nya.

“Untuk selanjutnya saya juga telah meminta kepada bapak Gubernur agar dibuat secara terstruktur di lingkungan PEMDA pada hari-hari tertentu agar karyawan dan karyawati menggunakan batik. Dan terlihat ini mendapat sambutan baik dari PEMDA dan ini akan di PERDA- kan.”

Diharapkan kesempatan emas ini tidak disia-siakan dan akan berlalu begitu saja. Melestarikan salah satu warisan seni budaya bangsa yang bernilai tinggi dan banyak dikagumi oleh berbagai bangsa. (ET_Sby/Amelia)

Jumat, 13 November 2009

Wayang Kulit

Persembahan Wayang Kulit Saupi didatangkan khas dari negeri Terengganu Darul Iman yang mana merupakan salah sebuah negeri yang kaya dengan kebudayaan dan kesenian tradisional. Justeru itu, pihak Istana Budaya mengambil inisiatif dengan membawa kumpulan ini untuk sama-sama mengangkat serta membudayakan seni tradisional ini.

Latar Belakang Kumpulan
Kumpulan Saupi Bunga Adani merupakan sebuah kumpulan Wayang Kulit yang dikenali ramai di sekitar Pantai Timur Semenanjung Malaysia khususnya di Terengganu.

Di bawah kelolaan Dalang Che Md Saupi Isa, kumpulan yang telah bergiat lama di Negeri Terengganu pernah mengadakan persembahan khususnya di seluruh Negeri Kelantan, Pahang, Selangor, Kuala Lumpur dan negeri-negeri lain di Malaysia.

Malah, sesuatu yang amat membanggakan kerana kumpulan ini telah pernah juga dijemput mengadakan beberapa persembahan di luar negara seperti Taiwan (1990), Jepun (1990), Singapura (1995), Thailand (1987 dan 1988). Indonesia (2007) dan Perancis (2007).

Dalang : Che Md Saupi Isa
Pemuzik : Abdul Rahman Dollah, Che Will Noh, Fauzi Jusoh, Nik Par Jid, MohdAzizul Che Will, Zarwi Hussin dan Mohamad Abdullah

Latar Belakang Dalang
Che Md Saupi berusia 51 tahun. Mula menjadi dalang bagi persembahan wayang kulit sejak berusia 17 tahun. Beliau banyak menimba bimbingan daripada dalang wayang kulit terkenal, Dollah Baju Merah.

Kini beliau menjadi tenaga pengajar muzik tradisional paluan pergendangan, dikir barat dan wayang kulit di Sekolah Menengah Hamzah, Machang Kelantan. Beliau adalah penerima Anugerah Seni Terengganu pada 2005.

Sinopsis

Kisah Bunga Adani dan Bunga Adano (4 Ogos 2007)

Raja Seri Rama telah bermimpi bunga Adani dan Adano, lalu memerintahkan hambanya iaitu Wok Yoh untuk mencari bunga-bunga tersebut. Namun, Wok Yoh enggan menuruti perintah sehinggalah Seri Rama menggunakan paksaan dengan memukul beliau untuk menuruti perintahnya.

Dalam perjalanan mencari bunga-bunga tersebut, beliau bertemu seorang lelaki tua di sebuah kampung. Daripada lelaki tua itu, Wok Yoh dapat mengetahui bahawa bunga Adani dan Adano sebenarnya berada di kampung itu serta di bawah jagaan jin bernama Bergah Sakti.

Cabaran yang terpaksa dihadapi oleh Wok Yoh ialah beliau terpaksa bertarung untuk membunuh jin tersebut bagi mendapatkan bunga-bunga yang diingini oleh Raja Seri Rama.

Jembalang Emas Raja Wana (5 Ogos 2007)

Puteri Siti Dewi telah menghadap Raja Seri Rama memohon kebenaran untuk beliau mandi di kolam yang terletak di taman bunga. Dalam perjalanan Siti Dewi ke kolam tersebut, beliau telah disambar oleh Jembalang Botol Emas Raja Wana lalu dibawa lari.

Hanuman Kera Putih yang melihat kejadian tersebut telah mengejar jembalang berkenaan dan cuba menyelamatkan Puteri Siti Dewi.

Asal-usul Tari Reog Ponorogo

Ada beberapa versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok. Di bawah ini adalah salah satunya.

Menurut cerita, kelahiran kesenian Reog dimulai pada tahun Saka 900, dilatarbelakangi kisah tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana, Raja Kerajaan Bantarangin yang sedang mencari calon permaisurinya. Bersama prajurit berkuda, dan patihnya yang setia, Bujangganong. Akhirnya gadis pujaan hatinya telah ditemukan, Dewi Sanggalangit, putri Kediri. Namun sang putri menetapkan syarat agar sang prabu menciptakan sebuah kesenian baru terlebih dahulu sebelum dia menerima cinta sang raja. Maka dari situlah terciptalah kesenian Reog. Bentuk Reog pun sebenarnya merupakan sebuah sindiran yang maknanya bahwa sang raja (kepala harimau) sudah disetir atau sangat dipengaruhi oleh permaisurinya (burung merak).

Biasanya satu group dalam pertunjukan Reog terdiri dari seorang Warok Tua, sejumlah warok muda, pembarong, penari Bujang Ganong, dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlahnya berkisar antara 20 hingga 30-an orang, peran sentral berada pada tangan warok dan pembarongnya. Tulisan Reog sendiri asalnya dari Reyog, yang huruf - hurufnya mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi : rasa kidung/ingwang sukma adiluhung/Yang Widhi/olah kridaning Gusti/gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa.

Penggantian Reyog menjadi Reog yang disebutkan untuk "kepentingan pembangunan" - saat itu sempat menimbulkan polemik. Bupati Ponorogo Markum Singodimejo yang mencetuskan nama Reog (Resik, Endah, Omber, Girang gemirang) tetap mempertahankannya sebagai slogan resmi Kabupaten Ponorogo.

Alur cerita pementasan Reog yaitu Warok, kemudian Jatilan, Bujangganong, Kelana Sewandana, barulah Barongan atau Dadak Merak di bagian akhir. Ketika salah satu unsur di atas sedang beraksi, unsur lain ikut bergerak atau menari meski tidak menonjol. Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri daribeberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada Reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.

Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni Reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar. Adegan dalam seni Reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni Reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.

Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.