BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 18 November 2009

Saatnya Kita Memuliakan Kebudayaan Kita

TIGA cuplikan peristiwa dari media massa:

1.
Sebuah penampilan tak terduga membuat penonton terperenyak pada pembukaan The Asia Pacific Weeks 2009 di Konzerthaus, Berlin, Jerman, Rabu (7/10). Lampu penerang di tempat duduk penonton meredup, berganti sorotan sinar langsung ke tengah panggung. Tampak berdiri seorang perempuan kulit putih dan intro lagu keroncong “Di Bawah Sinar Bulan Purnama” terdengar.
Dari mulut perempuan itu, Joanna Dudley, lirik lagu “Di Bawah Sinar Bulan Purnama” disenandungkan. “Di bawah sinar bulan purnama/air laut berkilauan/berayun-ayun ombak mengalir/ke pantai senda gurauan.”
….
“Saya rasa keroncong adalah musik terindah. Pertama kali mendengarnya beberapa tahun lalu, langsung membuat saya jatuh cinta dan ingin belajar menyanyikannya,” kata Joanna, perempuan kelahiran London, Inggris ini. (Neli Triana, “Keroncong Mendunia Lewat Joana”, Kompas, Kamis, 29 Oktober 2009

2
Hari ini, Kamis, bangsa Indonesia mempunyai `gawe` besar. Pertemuan “National Summit 2009″. Entahlah, mengapa pertemuan seluruh pemangku kepentingan bangsa ini, harus disebut dalam kosa kata bahasa Inggris, “National Summit 2009″.
Lebih menarik lagi ketika dalam pidatonya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru muncul banyak kosa kata bahasa Inggris.
Kata-kata seperti “global imballances”, pro-poor, pro-job maupun pro-growth, partnership, “inter state trade”, dan banyak lagi, meluncur fasih dari mulut presiden.
Mendengar begitu banyaknya kosa kata Inggris yang muncul, beberapa wartawan iseng-iseng menghitungnya. Setidaknya dalam pidato presiden sekitar 65 menit tersebut, tercatat ada 73 kosa kata bahasa Inggris yang dilontarkannya.
Artinya setiap satu menit terlontarlah kosa kata bahasa Inggris itu.
(”SBY dan Kosa Kata Inggris”. Antara, Kamis, 29 Oktober 2009 20:35 WIB

3
Kebudayaan kerap disalahartikan oleh negara. Oleh karena itu, kebudayaan harus menjadi sebuah gerakan pembebasan. Kebudayaan harus mempunyai ideologi, juga harus diatur dalam kebijakan. Kebudayaan mensyaratkan adanya kebebasan demokratis agar terjadi internalisasi nilai oleh publik, bukan hanya dimaknai oleh kepentingan elite.
Demikian salah satu poin utama yang dikemukakan budayawan Radhar Panca Dahana selaku Ketua Pengarah Temu Akbar Mufakat Budaya 2009 kepada pers, Kamis (29/10) di Jakarta.
Pada poin utama lainnya, Radhar mengatakan, budaya lokal sudah membuktikan diri selama puluhan milenia memiliki kemampuan untuk adaptif terhadap perubahan serta dapat dikatakan memiliki resiliensi yang tinggi. Dengan demikian, asumsi bahwa budaya lokal adalah bagian dari yang lampau dan statis perlu dipertanyakan kembali.
Oleh karena itu, kebijakan negara yang mematenkan budaya lokal perlu ditolak karena memungkiri kemampuan interaksi yang saling memperkuat yang sudah dibuktikan oleh perjumpaan antarbudaya lokal dan global.
Sistem-sistem berpikir asing tidak bisa dicangkokkan begitu saja ke tanah kultural Indonesia sebab secara kultural kita terbukti mampu mengontekstualkan ”yang asing” sampai tak dapat dikenali lagi keasingannya.
(”Kebudayaan Kerap Disalahartikan Negara”, Kompas, 30 Oktober 2009)

SAYA sengaja mencuplikan tiga berita ini untuk mengajak berpikir tentang kebudayaan secara lebih komprehensif. Kebudayaan sudah terlalu lama tidak dianggap di negeri ini. Kebudayaan tidak lebih penting dari urusan rebutan kursi atau kemiskinan dalam berbagai maknanya, yang terus-menerus melilit bangsa ini.

Sekarang kita meributkan “cicak melawan buaya” yang dengan sendiri melupakan bahwa kita pernah marah-marah dengan Malaysia karena berbagai klaim budaya yang dia lakukan terhadap “budaya Indonesia” (sengaja diberi tanda petik karena masih harus diteliti lagi soal pengakuan kita itu).

Tergopoh-gopohlah kita melakukan pendataan atau apa pun untuk mengatakan kita punya kebudayaan (termasuk di dalam kesenian). Indonesia misalnya, kini sedang dalam proses mendaftarkan 23 produk budaya dalam alam Nusantara ke dalam daftar warisan dunia Unesco. Saat ini sudah tiga warisan budaya benda milik Indonesia yang diakui UNESCO, yakni Candi Borobudur, Kompleks Candi Prambanan, dan Situs Sangiran.

Lalu, Departeman Parisata dan Kebudayaan mengajurkan agar semua daerah mempatenkan kebudayaan lokal. Tapi, benarkah sesederhana itu?

Paten Budaya?

Ada tiga hal kesalahkaprahan tentang paten. Pertama, paten adalah perlindungan hukum untuk teknologi atau proses teknologi, bukan untuk seni budaya seperti batik. Kedua, tak ada lembaga internasional yang menerima pendaftaran cipta atau paten dan menjadi polisi dunia di bidang hak kekayaan intelektual (HKI). Ketiga, media terus saja mengulangi kesalahan pemahaman HKI yang mendasar bahwa seolah-olah seni budaya dapat dipatenkan.

Dalam urusan HKI, ada sejumlah hak yang dilindungi, seperti hak cipta dan paten dengan peruntukan yang berbeda. Hak cipta adalah perlindungan untuk ciptaan di bidang seni budaya dan ilmu pengetahuan, seperti lagu, tari, batik, dan program komputer. Sementara hak paten adalah perlindungan untuk penemuan (invention) di bidang teknologi atau proses teknologi. Ini prinsip hukum di tingkat nasional dan internasional. Paten tidak ada urusannya dengan seni budaya. Jadi, pernyataan “perlu mematenkan seni budaya” adalah distorsi stadium tinggi.

Salah kaprah lain adalah keinginan gegap gempita untuk mendaftarkan warisan seni budaya untuk memperoleh hak cipta. Para gubernur, wali kota, dan bupati berlomba-lomba membuat pernyataan di media bahwa terdapat sekian ribu seni budaya yang siap didaftarkan untuk mendapat hak cipta. Tampaknya tak disadari bahwa dalam sistem perlindungan hak cipta, pendaftaran tidaklah wajib. Apabila didaftarkan, akan muncul konsekuensi berupa habisnya masa berlaku hak cipta, yakni 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Jadi, seruan agar tari Pendet didaftarkan adalah berbahaya karena 50 tahun setelah pencipta tari Pendet meninggal dunia, hak ciptanya hilang dan tari Pendet dapat diklaim siapa saja.

Kita harus hati-hati menggunakan kata klaim apabila terkait urusan sebaran budaya. Adanya budaya Indonesia di negara lain tidak berarti negara itu secara langsung melakukan klaim atas budaya Indonesia. Karena apabila ini kerangka berpikir kita, kita harus siap-siap dengan tuduhan bangsa lain bahwa Indonesia juga telah mengklaim budaya orang lain; misalnya bahasa Indonesia yang 30 persen bahasa Arab, 30 persen bahasa Eropa (Inggris, Belanda, dan Portugis) serta 40 persen bahasa Melayu. Bagaimana dengan Ramayana yang oleh UNESCO diproklamasikan sebagai seni budaya tak benda India? Apakah Indonesia telah mengklaim budaya India sebagai budaya kita karena di Jawa Tengah sendratari Ramayana telah menjadi bagian budaya?

Malaysia-Indonesia

Konon, hampir 80 persen keturunan Melayu di Malaysia adalah keturunan orang Indonesia. Ada yang keturunan Aceh, Padang, Sumatera Utara, Jambi, Palembang, Jawa, Madura, Bawean, dan Bugis.

Banyak sekali keturunan Indonesia yang sukses di Malaysia. Perdana Menteri Malaysia ke-6 Najib Tun Razak adalah keturunan Sultan Gowa ke-19 atau cucu dari Sultan Hasanudin. Ayahnya menjadi PM Malaysia ke-2. Di jajaran kabinet saat ini, Menteri Pertahanan Malaysia Ahmad Zahid Hamidi, kakeknya orang Yogyakarta. Bahasa Jawanya masih fasih. Begitu juga dengan Rais Yatim, Menteri Penerangan dan Kebudayaan Malaysia, yang masa kecilnya sempat dihabiskan di Sawahlunto, Sumatera Barat.

Kesuksesan perantauan Indonesia di Malaysia bukan hanya sampai tingkat menteri. Beberapa sultan di negara bagian juga keturunan Indonesia, contohnya Sultan di Johor Bahru dan Selangor, adalah keturunan Bugis. Bukan saja di kalangan pemerintahan dan sultan, keturunan Indonesia sukses di Malaysia. Bintang film legendaris Malaysia, P Ramlee pun merupakan anak Aceh yang sukses di Malaysia. Penyanyi pria paling top saat ini Mawi, juga masih keturunan Jawa.

Menurut Asvi Warman Adam, peneliti utama LIPI (2009), Indonesia serba repot. Jika kita bertempur dengan Malaysia, kalah atau menang tetap rugi. Kalau kalah, jelas malu karena Malaysia lebih kecil daripada kita. Kalau menang, bukan prestasi.

Asvi malah mengusulkan untuk menggabungkan atau mengintegrasikan Malaysia dengan Indonesia; tentu saja tidak dengan invasi atau aneksasi, tetapi secara damai. Gagasan tentang Indonesia Raya yang mencakup bekas Hindia Belanda plus Semenanjung Melayu bukanlah hal baru karena ini sudah digagas seusai Perang Dunia II oleh Ibrahim Haji Yaacob yang kemudian dikenal di Indonesia dengan nama Iskandar Kamel.

Ibrahim Haji Yaacob adalah seorang Melayu keturunan Bugis. Ia lahir 27 November 1911 di Kampung Tanjung Kertau, Temerloh, Pahang. Leluhurnya telah merantau ke Pahang awal abad ke-20. Saat bersekolah di Maktab Perguruan Sultan Idris tahun 1928-1931 di Tanjong Malim, Perak, guru-gurunya mengajarkan gerakan nasionalisme India, Mesir, Indonesia, dan Jepang.

Pada 8 Agustus 1945, delegasi Indonesia yang terdiri dari Soekarno, Hatta, dan Radjiman berangkat ke Vietnam menemui Marsekal Terauchi. Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, delegasi itu mampir di Taiping Perak. Di sana mereka bertemu Ibrahim Yaacob, yang memberitahukan kepada Soekarno dan Hatta bahwa orang-orang Melayu ingin mencapai kemerdekaan bagi Malaya dalam kerangka Indonesia Raya. Dia mengusulkan agar kemerdekaan Malaya juga diumumkan akhir Agustus.

Soekarno yang duduk di samping Hatta terharu oleh semangat Ibrahim Yaacob. Dijabatnya tangan Ibrahim, lalu berujar, “Mari kita ciptakan satu tanah air bagi mereka dari keturunan Indonesia.” Ibrahim menjawab, “Kami orang Melayu akan setia menciptakan ibu negeri dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka. Kami orang Melayu bertekad untuk menjadi orang Indonesia.”

Semua itu tidak pernah menjadi kenyataan.

Penutup

Apa yang sebenarnya terjadi? Kita sudah terlalu lama salah paham dengan yang disebut kebudayaan. Kita, pemerintah terutama, masih menganggap kebudayaan sebagai sesuatu yang harus “dijual”. Sudah keliru, kita pun (pemerintah terutama) masih sporadis dalam manangani kebudayaan. Nasionalisme kita baru terbangun saat budaya atau tradisi yang ada di masyarakat kita diklaim negara lain.

Sudah saatnya, kita, siapa pun kita, mulai memuliakan kebudayaan. Sebab, kebudayaan — seperti halnya bahasa — adalah identitas, jati diri. Tidakkah kita menyadari itu? Mengapa kita lupa dengan diri sendiri (baca: kebudayaan yang kita miliki); kita merasa sangat inferior dengan apa yang kita punya dan justru sibuk mengejar segala sesuatu yang “asing” karena beranggapan itulah kebudayaan yang modern, yang mendunia, dan yang harus ditiru agar tidak dibilang ketinggalan zaman?

0 komentar: